SAATNYA HINDU BICARA

Jumat, 05 April 2013

Menelusuri Sisi Lain Dari Runtuhnya Kerajaan Majapahit

Ketika Hayam Wuruk dan Gajah Mada meninggal, maka pengganti Raja yang sah adalah Kusumawardhani yang memerintah bersama suaminya yaitu Wikramawardhana. Raja terakhir kerajaan Majapahit yaitu Suhita yang keturunan langsung Raden Wijaya, setelah itu yang memerintah adalah sempalan dari berbagai keluarga (1447 M). Ketika Raden Wijaya menyerang tentara Cina yang mendarat di Gresik untuk menghukum raja Kertanegara (1294 M), Cina daratan sesungguhnya dalam kondisi yang kurang baik. Ekspansi laut Kaisar Kubilai Khan banyak yang tidak yang berhasil, Ia mewajibkan raja dari daerah taklukannya untuk datang ke istana Syang Tu menghaturkan utpeti.
Mungkin kita semua sudah tahu bahwa runtuhnya kerajaan Majapahit, bahwa kerajaan Majapahit runtuh pada tahun Saka 1400 (1478 M), dan saat keruntuhannya tersebut dilambangkan dengan candrasengkala 'sirna-ilang-kertaning-bumi' (serat Kanda), dan disebutkan pula bahwa keruntuhan Majapahit ini disebabkan oleh karena serangan dari Kerajaan Islam Demak. Memang pemahaman kita selama ini demikian, bahwa runtuhnnya Majapahit karena serangan kerajaan demak dan karena memang majapahit sudah rusak dari dalam. Namun dalam artikel ini akan dijelaskan sisi lain dari runtuhnya Majapahit, kalau boleh dikatan bahwa secara tidak langsung sebagai akibat dari sebuah Grand Design dari Laksamana laut negeri Cina. Selengkapnya sebagai berikut ;
Kematian Kubilai Khan menandakan surutnya wangsa Yuan, tahun 1368 Che Guan Chiang berhasil merebut kekuasaan dan mendirikan wangsa baru (Dinasti Ming). Ketika Yung Lo berkuasa (1403-1435), Cina melirik keluar lagi. Negara-negara Nan Yang  (laut Cina selatan) menjadi incarannya. Pertama yang dikirim adalah Laksamana Yin Ching (1403) yang disertai juru bahasa Ma Huan, namun sejak 1405-1431 kaisar menugaskan Laksamana Cheng Ho yang dibantu oleh juru bahasa Ma Huan dan Feh Tsin. Ketiganya adalah penganut islam yang taat dan Cheng Ho memiliki visi mengenai grand design daerah Nan Yang. Dia memimpikan suatu kawasan Nan Yang yang islami. Visi ini sesungguhnya berada di luar tugas-tugas resmi yang dibebankan oleh Kaisar kepadanya yaitu perencanaan dan pelaksanaan hubungan politik, dagang.
Pada tahun 1419 Cheng HO mengangkat Bon Ta Keng sebagai koordinator seluruh kegiatan dagang dan politik Cina di asing Tenggara dan bermarkas di Champa dan berkedudukan di Pnom Penh (Sin Fung An). Bon Ta Keng ini sesungguhnya Raja Champa yang salah satu putrinya (Darawati) diceritakan kawin dengan raja Majapahit terakhir (Kerthabhumi- Kong Ta Bu Mi). Swan Liong putra raja Majapahit Wikramawardhana/ hang Wisesa denga putri Cina Ni Endang Sasmitapura dijadikan kepala pabrik mesiu di semarang dan tahun 1445 diangkat sebagai kapten Cina di Palembang.
Yang menarik dari kisah ini adalah kelahiran Raden Patah (Jin Bun), putra dari Prabhu Kertabhumi (Raden Brawijaya) dengan putri Cina yaitu Darawati. Babah Ban Tong (Ban Hong) berpendapat bahwa anak perempuannya pantas menjadi selir raja. Ketika selir ini hamil tua dia dihadiahkan kepada Swan Liong di Kukang, dengan pesan bahwa Swan Liong bisa berhubungan dengannya apabila sudah melahirkan. Maka terlahirlah Raden Kusen (Husein) saudara tiri Jin Bun (Raden Patah) dan mereka dibesarkan bersama. Ketika berumur 18 tahun dengan diam-diam mereka pergi ke jawa. Kusen mengabdi kepada raja Majapahit dan diangkat menjadi Adipati Terung. Sedangkan Jin Bun menolak ajakan adiknya dengan kata-kata termashur yang dimuat dalam Babad Tanah Jawi : “Saya sudah terlanjur memeluk agama islam. Menurut keyakinan saya itulah agama yang baik. Sayang ke-islaman saya jika harus mengabdi  kepada raja Majapahit yang kafir (padahal raja itu adalah Ayahnya sendiri).
Jin Bun berguru kepada Bong Swi Hoo dan kemudian membuka hutan belantara di Bintara (Bing Tolo, Demak). Mari kita lihat apa yang dikatakan Prof. Slamet Mulyono (Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara Islam di Nusantara, Bharatara 1968) : “Pembukaan hutan Bintara oleh Jin Bun yang pada hakekatnya adalah persiapan untuk merobohkan kekuasaan Majapahit, karena dia memperoleh gelar pangeran dan pengakuan resmi dari raja untuk mengerjakan pembukaan hutan sehingga tidak ada orang yang mencurigai pekerjaan itu tersebut”.
Perbuatan Jin Bun itu pada hakekatnya adalah sebuah kegitan rahasia untuk melawan Majapahit. Swan Liong dan Jin Bun sebagai peranakan Cina-Jawa meskipun mereka putra Majapahit hanya bekerja demi kepentingan masyarakat Cina-Islam, paadahal mereka tidak ada kebanggan sama sekali dengan ke-Jawa-annya. Selama 3 tahun dia berhasil membuka hutan Bing Tolo dan mengumpulkan pengikut lebih dari 1000 orang yang telah dijiwai fanatisme agama. Kekuatan ini cukup untuk menguasai kota Semarang (1447) dari orang Cina non islam.
Saatnya tiba ketika Bong Swi Hoo meninggal (1478), karena gurunya ini adalah penghalang terakhir dari niat Jin Bun untuk menyerbu Majapahit. Majapahit diserbu secara tiba-tiba dan raja Kertabhumi (Raden Brawijaya) yang tidak membuat persiapan apa-apa akhirnya ditawan dan dibawa ke Demak. Seperti penuturan Prof. Slamet, “kota Majapahit tidak mengalami kerusakan apapun, seolah-plah tidak terjadi apa-apa. Kerajaan yang remuk dari dalam dan rusak ekonomi, ahlak yang merosot, secara mendakak ditekan dari luar sehingga tidak sanggup mengadakan perlawanan.
Setelah dikatakan demikian Majapahit runtuh, akhirnya raja baru Nyoo Lay Wa diangkat oleh Jin Bun akan tetapi 6 tahun kemudian orang ini terbunuh oleh rakyat dan akhirnya digantikan oleh Girindrawardhana Dyah Ranawijaya, ipar Jin Bun). Raja terakhir ini pun  akhirnya diserbu oleh laskar demak di bawah pimpinan Sunan Kudus karena diketahui berhubungan secara rahasia dengan musuh bebuyutan demak yaitu orang portugis. Habislah Majapahit tahun 1527 M. Misi Cheng Ho yang telah dipaparkan sebelumnya dengan jitu telah direalisasikan oleh Jin Bun (Raden Patah).
Kita mendapat pelajaran yang begitu berharga dari runtuhnya sebuah peradaban Hindu di tanah Jawa yang dulunya pernah mengalami puncak kejayaan. Namun berakhir di tangan garis keturunannya sendiri akibat dari fanatisme buta terhadap sebuah doktrin, namun terlepas dari itu faktor terpenting dari runtuhya Majapahit adalah nilai-nilai yang dulunya pernah dipegang teguh telah sirna, pun karena pemimpin yang tidak menyiapkan penerus untuk melanjutkan visi kerajaan. Tanpa ada niat dari penulis untuk membuka luka lama, marilah kita berpikir sejenak bahwa perbedaan prinsip selalu menyisakan ruang terjadinya saling ketidakpercayaan.
Source : Raditya, 96
Semoga pikiran yang baik datang dari segala penjuru

3 komentar: