Mungkin kita semua sudah tahu bahwa runtuhnya kerajaan Majapahit, bahwa kerajaan Majapahit runtuh pada tahun Saka 1400 (1478 M), dan saat keruntuhannya tersebut dilambangkan dengan candrasengkala 'sirna-ilang-kertaning-bumi' (serat Kanda), dan disebutkan pula bahwa keruntuhan Majapahit ini disebabkan oleh karena serangan dari Kerajaan Islam Demak. Memang pemahaman kita selama ini demikian, bahwa runtuhnnya Majapahit karena serangan kerajaan demak dan karena memang majapahit sudah rusak dari dalam. Namun dalam artikel ini akan dijelaskan sisi lain dari runtuhnya Majapahit, kalau boleh dikatan bahwa secara tidak langsung sebagai akibat dari sebuah Grand Design dari Laksamana laut negeri Cina. Selengkapnya sebagai berikut ;
Kematian
Kubilai Khan menandakan surutnya wangsa Yuan, tahun 1368 Che Guan Chiang
berhasil merebut kekuasaan dan mendirikan wangsa baru (Dinasti Ming). Ketika
Yung Lo berkuasa (1403-1435), Cina melirik keluar lagi. Negara-negara Nan Yang (laut Cina selatan) menjadi incarannya.
Pertama yang dikirim adalah Laksamana Yin Ching (1403) yang disertai juru
bahasa Ma Huan, namun sejak 1405-1431 kaisar menugaskan Laksamana Cheng Ho yang
dibantu oleh juru bahasa Ma Huan dan Feh Tsin. Ketiganya adalah penganut islam
yang taat dan Cheng Ho memiliki visi mengenai grand design daerah Nan Yang. Dia memimpikan suatu kawasan Nan Yang yang
islami. Visi ini sesungguhnya berada di luar tugas-tugas resmi yang
dibebankan oleh Kaisar kepadanya yaitu perencanaan dan pelaksanaan hubungan
politik, dagang.
Pada tahun
1419 Cheng HO mengangkat Bon Ta Keng sebagai koordinator seluruh kegiatan
dagang dan politik Cina di asing Tenggara dan bermarkas di Champa dan
berkedudukan di Pnom Penh (Sin Fung An). Bon Ta Keng ini sesungguhnya Raja
Champa yang salah satu putrinya (Darawati) diceritakan kawin dengan raja
Majapahit terakhir (Kerthabhumi- Kong Ta Bu Mi). Swan Liong putra raja Majapahit Wikramawardhana/ hang Wisesa denga
putri Cina Ni Endang Sasmitapura dijadikan kepala pabrik mesiu di semarang dan
tahun 1445 diangkat sebagai kapten Cina di Palembang.
Yang menarik
dari kisah ini adalah kelahiran Raden Patah (Jin Bun), putra dari Prabhu
Kertabhumi (Raden Brawijaya) dengan putri Cina yaitu Darawati. Babah Ban Tong
(Ban Hong) berpendapat bahwa anak perempuannya pantas menjadi selir raja.
Ketika selir ini hamil tua dia dihadiahkan kepada Swan Liong di Kukang, dengan
pesan bahwa Swan Liong bisa berhubungan dengannya apabila sudah melahirkan.
Maka terlahirlah Raden Kusen (Husein) saudara tiri Jin Bun (Raden Patah) dan
mereka dibesarkan bersama. Ketika berumur 18 tahun dengan diam-diam mereka
pergi ke jawa. Kusen mengabdi kepada raja Majapahit dan diangkat menjadi
Adipati Terung. Sedangkan Jin Bun menolak ajakan adiknya dengan kata-kata
termashur yang dimuat dalam Babad Tanah Jawi : “Saya sudah terlanjur memeluk
agama islam. Menurut keyakinan saya itulah agama yang baik. Sayang ke-islaman
saya jika harus mengabdi kepada raja
Majapahit yang kafir (padahal raja itu adalah Ayahnya sendiri).
Jin Bun
berguru kepada Bong Swi Hoo dan kemudian membuka hutan belantara di Bintara
(Bing Tolo, Demak). Mari kita lihat apa yang dikatakan Prof. Slamet Mulyono
(Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara Islam di Nusantara,
Bharatara 1968) : “Pembukaan hutan Bintara oleh Jin Bun yang pada hakekatnya
adalah persiapan untuk merobohkan kekuasaan Majapahit, karena dia memperoleh
gelar pangeran dan pengakuan resmi dari raja untuk mengerjakan pembukaan hutan
sehingga tidak ada orang yang mencurigai pekerjaan itu tersebut”.
Perbuatan
Jin Bun itu pada hakekatnya adalah sebuah kegitan rahasia untuk melawan
Majapahit. Swan Liong dan Jin Bun sebagai peranakan Cina-Jawa meskipun mereka
putra Majapahit hanya bekerja demi kepentingan masyarakat Cina-Islam, paadahal
mereka tidak ada kebanggan sama sekali dengan ke-Jawa-annya. Selama 3 tahun dia
berhasil membuka hutan Bing Tolo dan mengumpulkan pengikut lebih dari 1000
orang yang telah dijiwai fanatisme agama. Kekuatan ini cukup untuk menguasai
kota Semarang (1447) dari orang Cina non islam.
Saatnya tiba
ketika Bong Swi Hoo meninggal (1478), karena gurunya ini adalah penghalang
terakhir dari niat Jin Bun untuk menyerbu Majapahit. Majapahit diserbu secara
tiba-tiba dan raja Kertabhumi (Raden Brawijaya) yang tidak membuat persiapan
apa-apa akhirnya ditawan dan dibawa ke Demak. Seperti penuturan Prof. Slamet,
“kota Majapahit tidak mengalami kerusakan apapun, seolah-plah tidak terjadi
apa-apa. Kerajaan yang remuk dari dalam dan rusak ekonomi, ahlak yang merosot,
secara mendakak ditekan dari luar sehingga tidak sanggup mengadakan perlawanan.
Setelah
dikatakan demikian Majapahit runtuh, akhirnya raja baru Nyoo Lay Wa diangkat
oleh Jin Bun akan tetapi 6 tahun kemudian orang ini terbunuh oleh rakyat dan
akhirnya digantikan oleh Girindrawardhana Dyah Ranawijaya, ipar Jin Bun). Raja
terakhir ini pun akhirnya diserbu oleh
laskar demak di bawah pimpinan Sunan Kudus karena diketahui berhubungan secara
rahasia dengan musuh bebuyutan demak yaitu orang portugis. Habislah Majapahit
tahun 1527 M. Misi Cheng Ho yang telah dipaparkan sebelumnya dengan jitu telah
direalisasikan oleh Jin Bun (Raden Patah).
Kita mendapat pelajaran yang begitu berharga dari
runtuhnya sebuah peradaban Hindu di tanah Jawa yang dulunya pernah mengalami
puncak kejayaan. Namun berakhir di tangan garis keturunannya sendiri akibat
dari fanatisme buta terhadap sebuah doktrin, namun terlepas dari itu faktor
terpenting dari runtuhya Majapahit adalah nilai-nilai yang dulunya pernah
dipegang teguh telah sirna, pun karena pemimpin yang tidak menyiapkan penerus
untuk melanjutkan visi kerajaan. Tanpa ada niat dari penulis untuk membuka luka
lama, marilah kita berpikir sejenak bahwa perbedaan prinsip selalu menyisakan
ruang terjadinya saling ketidakpercayaan.
Source : Raditya, 96
Semoga
pikiran yang baik datang dari segala penjuru
menarik
BalasHapussuka...
BalasHapusSejarah banyak ditulis dan dibelokkan demi kepentingan politik sesaat
BalasHapus